Artikel Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pangkalpinag Dr. Erwandy S.E, M,M.

Artikel Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pangkalpinag Dr. Erwandy S.E, M,M.

Spread the love
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Jejakkasuslive.com – Pangkalpinang SAYA masih ingat betul saat seorang teman bercerita tentang kegelisahan yang dia rasakan ketika anaknya gagal masuk ke sekolah favorit yang selama ini menjadi impiannya. Dia bahkan sampai begadang, mengutak-atik berbagai cara agar anaknya bisa diterima, mulai dari mendaftar lewat jalur tidak resmi hingga ikut “calo”. Semua itu dilakukan dengan niat baik, tentu saja, karena sebagai orang tua, siapa yang tidak ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya?

Namun, di balik usaha keras itu, ada satu hal yang kerap terlupakan, apakah anak benar-benar siap dan bahagia di sekolah yang dipaksakan itu? Apakah itu juga pilihan terbaik bagi masa depannya?

Di tahun 2025 ini, pemerintah melalui Permendikdasmen Nomor 3 Tahun 2025 memperketat aturan sistem penerimaan murid baru (SPMB), di mana salah satu policy-nya dengan mengunci dapodik (data pokok pendidikan) setiap satuan pendidikan. Artinya, tidak ada lagi penambahan kuota, rombongan belajar atau ruang kelas baru, dan dikunci sebelum proses penerimaan murid baru dimulai.

Pemerintah daerah melalui satuan pendidikan hanya menjalankan kebijakan. Kebijakan ini bukan sekadar prosedur administratif, tetapi sebuah langkah serius untuk menciptakan keadilan dan pemerataan akses pendidikan bagi seluruh anak Indonesia. Namun, di sisi lain menghadapi tantangan besar dalam perubahan mindset masyarakat yang masih merasa bahwa sekolah tertentu adalah jaminan masa depan cerah bagi anak mereka.

SPMB membutuhkan perubahan mindset bersama?
Policy ini menuntut perubahan mindset dari semua pihak. Bukan hanya orang tua yang harus berubah, tetapi juga sekolah dan sistem pendidikan secara keseluruhan. Sekolah perlu beradaptasi dengan kebijakan ini dengan mengutamakan kualitas pendidikan daripada sekadar mengejar kuota atau jumlah siswa. Sistem pendidikan pun harus diubah agar pemerataan kompetensi guru dan sarpras satuan pendidikan yang mumpuni.

Keinginan orang tua memberikan pendidikan yang terbaik sangat dipahami. Tetapi
percayalah, memaksakan anak ke sekolah yang dianggap favorit, penuh sesak bukanlah bentuk cinta yang sebenarnya.

Bayangkan saja, sebuah sekolah yang muridnya jauh melebihi kapasitas. Guru yang seharusnya membimbing menjadi kewalahan, suasana belajar jadi tidak kondusif. Di sini, anak tidak lagi belajar dengan penuh semangat, melainkan berjuang di tengah tekanan dan persaingan yang tidak sehat. Ini bukan hanya soal angka dan statistik, tetapi soal masa depan yang sedang direnggut sedikit demi sedikit.

Data resmi dari Kementerian Pendidikan menunjukkan ada banyak sekolah di daerah lain yang justru kekurangan murid, padahal kualitas pendidikannya tidak kalah. Sayangnya, stigma “sekolah favorit” masih kuat menempel di benak banyak orang tua. Padahal, anak yang belajar di sekolah sesuai domisili dan kapasitasnya justru mendapat perhatian lebih dari guru, suasana belajar yang lebih nyaman, dan kesempatan berkembang yang lebih optimal.

Psikolog anak juga sudah memperingatkan, tekanan berlebihan dari orang tua bisa menimbulkan stres dan kecemasan yang berujung pada menurunnya prestasi akademik dan bahkan gangguan mental. Anak-anak ini tidak seharusnya menjadi korban ambisi orang dewasa.
Saya ingin mengajak semua orang tua untuk meninjau kembali apa arti sebenarnya pendidikan. Bukan soal gengsi, bukan soal label sekolah, tetapi tentang tumbuh kembang anak secara menyeluruh. Sebuah sekolah bukanlah tempat untuk berlomba rebut kursi, melainkan ladang belajar dan bertumbuh yang nyaman dan penuh kasih sayang.
Ketika anak belajar dengan hati yang tenang, dengan dukungan keluarga yang memahami, mereka akan berkembang menjadi pribadi yang percaya diri dan siap menghadapi dunia. Kebahagiaan belajar itulah yang saya yakin akan menuntun mereka pada kesuksesan sejati.
Pada akhirnya, perubahan aturan SPMB ini adalah kesempatan bagi kita semua untuk membenahi cara pandang. Mari dukung sistem yang sudah diupayakan agar pendidikan menjadi lebih adil dan merata. Jangan biarkan ego dan ambisi kita sebagai orang tua menjadi jerat yang menghambat masa depan anak.
Dengan berseloroh teman mengatakan SPMB ini akronim dari “saatnya perubahan mindset bersama”. Saatnya kita mengubah “stigma sekolah favorit”, saatnya kita komitmen dengan jalur SPMB yaitu domisili, afirmasi, prestasi, dan mutasi.
Jadi, sudahkah kita memikirkan dengan jernih apa yang terbaik bagi anak, atau hanya mengikuti keinginan kita semata? Ingatlah, cinta terbaik adalah memberi ruang bagi anak untuk tumbuh dengan bahagia dan bebas dari tekanan yang tidak perlu.
John Dewey pernah berkata, “Pendidikan bukanlah persiapan untuk hidup; pendidikan adalah hidup itu sendiri.” Kita harus memastikan bahwa pendidikan yang kita berikan tidak hanya formalitas, tetapi benar-benar menjadi kehidupan yang bermakna bagi anak-anak kita. Semoga. (*) Mln.

 

 

 –

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *